Beranda

Kamis, 14 Maret 2013

Technopreneurship : Pengusaha Ulet

Muhadi pengusaha sukses bus Dedy Jaya, lewat kerja keras dan keuletan, Muhadi sukses menjadi pengusaha bus Dedy Jaya. Ia merintis usahanya dari berdagang es lilin serta menjadi kondektur bus. Kini bisnisnya sudah menggurita, mulai dari hotel, pabrik cat, mal, hingga toko bangunan.

Soal nasib urusan belakang. Itulah pegangan hidup Muhadi Setiabudi, konglomerat asal Brebes, Jawa Tengah. Kerja kerasnya selama sekitar 19 tahun kini membuahkan hasil. Grup usaha PT. Dedy Jaya Lambang Perkasa yang berdiri sekitar 15 tahun silam, kini menjelma menjadi kerajaan bisnis dengan 2.500 karyawan. Lini usahanya juga sungguh beragam luas, mulai dari mengelola ratusan armada di bawah bendera perusahaan otobus (PO) Dedy Jaya, hotel, pabrik cat, toko bahan bangunan, toko emas, hingga bisnis mal di Brebes, Tegal & Pemalang. "Nasib itu urutan kesekian. Siapa pun yang bekerja keras pasti bisa berhasil," ucap lelaki kelahiran Brebes, Maret 1961 ini mantap.

Muhadi tentu tidak asal omong. Boleh dibilang pria yang hanya menamatkan pendidikan madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dari sebuah pesantren di Cirebon ini, benar-benar sudah membuktikannya. Maklum, kerajaan bisnisnya itu ia rintis dengan susah payah dan bukan terima menjadi dari warisan. "Saya benar-benar mulai dari nol besar," tandas bapak Muhadi.


Merintis Sukses Dari Berdagang Bambu

Muhadi sejak muda sempat melakoni pekerjaan kasar seperti berdagang es lilin di kampung, menjadi kondektur bus, serta berjualan minyak tanah. Pekerjaan itu ia jalani hingga 1979 atau sekitar lima tahun sejak menamatkan pendidikan menengah. Di saat senggang, ia juga ikut membantu ayahnya bertani di sawah.

Jalan terang agaknya mulai terbentang setelah Muhadi menikahi Atik Sri Subekti pada 1981. "Waktu itu umur saya baru 19 tahun, tapi saya nekat menikah," tuturnya mengenang. Nasibnya berubah bukan karena dia menikahi anak konglomerat. Sebaliknya, mungkin karena kian terdesak harus membiayai keluarga barunya, dia tak bisa lagi menyandarkan penghasilan dari kerja serabutan itu.

Maka, Muhadi mulai menerjuni usaha dagang bambu dengan modal awal sekitar Rp 50.000. Modal ini ia kumpulkan dari upah membantu orang tuanya di sawah. "Usaha ini masih saya pertahankan sampai sekarang karena ia adalah cikal bakal semua usaha yang tidak bisa saya lupakan," tutur Muhadi.

Guratan sukses Muhadi tampaknya memang sudah terukir di bambu. Sebab, jerih payahnya berjualan bambu tersebut menuai hasil lumayan. Apalagi beberapa pesanan dalam jumlah besar juga mulai berdatangan. Misalnya, dia sempat mendapat order dari sebuah kontraktor bangunan untuk menyuplai ribuan batang. Untungnya meningkat, dari sekitar Rp 70.000 sebulan menjadi Rp 470.000 saban bulan.

Selain mendapat order, ada berkahnya juga Muhadi bergaul dengan para kontraktor itu. Ia jadi mulai mafhum tentang seluk-beluk usaha bahan bangunan. Dua tahun setelah berdagang bambu, Muhadi lantas mendirikan toko bahan bangunan dengan modal yang ia kumpulkan dari untung berdagang bambu. "Kekurangannya saya pinjam dari bank," ucapnya terus terang.

Rupanya pilihan Muhadi  ke bisnis bahan bangunan sungguh tepat. Karena usaha barunya itu benar-benar menjadi tambang emas yang tiada henti mengalirkan untung. Bahkan, tujuh tahun setelah berkutat di material, keuntungannya dari berjualan bahan bangunan sudah bisa menjadi modal untuk membeli beberapa bus besar. Muhadi seperti terobsesi berusaha di jasa sarana angkutan. Boleh jadi selain meraup untung dari jasa ini, dia ingin mengenang masa sulitnya menjadi kondektur.

Kini, jumlah armada busnya yang berbendera PO Dedy Jaya sudah mencapai ratusan unit. Penumpang asal Pantura, Tegal, Pekalongan, dan Purwokerto yang hendak ke Jakarta tentu sudah tak asing lagi dengan bus ini. Maklum, Dedy Jaya melayani trayek Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Tegal, dan Jakarta-Pemalang- Pekalongan. Ia mencomot nama untuk bus serta grup usahanya dari nama anak pertamanya, Dedion Supriyono. Selain menggeluti bus, Muhadi juga mulai merambah ke toko emas dan bisnis perkayuan.

Konglomerasi bisnis Muhadi tak berhenti sampai di situ saja. Ia pun mulai melirik bisnis pusat perbelanjaan lantaran melihat peluang yang masih terbuka lebar di Tegal. Selain itu, "Saya ingin menjadi pelopor pengembang pribumi, daripada peluang itu diambil developer dari luar," ucapnya.

Alhasil, berdirilah Mal Dedy Jaya pada 1998, yang kini menjadi pusat perbelanjaan termegah di kota warteg itu. Tak puas mendirikan mal, Muhadi lantas menerjuni pula bisnis perhotelan. Dua tahun berselang setelah membangun mal itu, ia juga membangun dua hotel berbintang sekaligus. Satu di Tegal dan satunya lagi di Brebes.

Muhadi tak memungkiri bahwa perkembangan bisnisnya ini tak lepas dari peran bank yang mengucurinya kredit. Tentu saja tak serta-merta bank mau mengucurkan pinjaman ketika usahanya belum sebesar sekarang. Kendati sekarang utangnya masih lumayan besar, dia mengaku tak risau ataupun malu. "Saya baru malu kalau tak bisa membayar," tegasnya.

Begitulah, kerja kerasnya kini sudah membuahkan hasil. Toh, ia tak lantas puas dengan hasil yang sudah ia peroleh. Muhadi juga tak lantas bermewah-mewah dengan hasilnya selama ini. Kantornya pun sederhana. Hanya sebuah ruang seluas 24 m2 di salah satu sudut rumahnya di Jalan Raya Cimohong, Bulakamba, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Brebes. Toh, dari kota kecil inilah Muhadi mengendalikan bisnisnya yang sudah menggurita.


Kesimpulan:
Sudah lumrah setiap ada senang pasti ada susah misalnya saja dari usaha kecil kalau dipertahankan terus menerus pasti akan membuahkan hasil yang begitu besar dan diikuti kerja keras yang tak kunjung henti. Selagi mempunyai usaha kecil jangan diremehkan karena setiap usaha kecil adalah kunci untuk mencapai usaha besar sampai titik kesuksesan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar